Masuk Fasilkom UI, kebetulan atau tidak?

Filled under:



Percaya atau tidak, “Luck is what happen when preparation meets opportunity”. Setiap keberuntungan yang dijatuhkan Tuhan terhadap manusia tidak akan pernah serta merta. Seperti tujuan penciptaan alam semesta, tujuan penciptaan manusia, siang dan malam, bulan dan bintang, laki-laki dan perempuan, dan banyak lagi, yang jika dihitung dengan jari, tidak akan pernah ada habisnya. Dan keberhasilan dalam menghadapi itu semua sangat bergantung terhadap persiapan yang sudah kita lakukan, persiapan diri, mental, finansial, waktu, pentargetan.

أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja?“ (Al Qiyamah:36)

Jangan dikira bahwa masuk Universitas seperti Universitas Indonesia adalah hal mudah, sehingga ada orang yang pernah berpikir bahwa dirinya tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Boleh jadi, orang-orang yang lebih dulu masuk, orang tuanya telah memiliki persiapan yang cukup, misalnya finansial. Aku sendiri, lulus dari D3-Politeknik Negeri Bandung di tahun 2014 silam, harus rela berhemat-hemat ria, saat orang lain di environment of system yang sama berfoya-foya ria. Dengan perjalanan gaji dari 3 juta rupiah, dengan lingkungan hidup Jakarta, tak cukup pengetahuan dan tanpa orang tua, sangat-sangat menuntut diri untuk bisa terus bertahan.
Ada satu hal yang sangat aku syukuri, bahwa Tuhan dengan segala skenarionya yang Maha kaya, telah mendewasakan apa-apa yang notabene memang merupakan pondasi paling penting dalam menjalani segala takdirNya. Jauh sebelum kini aku bisa masuk dan duduk dengan seksama menyaksikan dosen-dosen dengan pengetahuan sejagad, yang namanya dikenal siapa-siapa, aku telah mempersiapkan segalanya. Uang pangkal masuk UI dari tahun ke tahun terus meningkat. Hingga akhirnya aku kebagian di tahun ini, tahun 2016. Sebut saja jumlahnya 31 juta rupiah. Untuk mengumpulkan uang sejumlah itu dalam satu tahun, setidaknya dibutuhkan 3 juta per bulannya yang harus dibekukan. Tentu saja itu tidak mungkin, jika gaji hanya 3 juta. Lalu harus makan apa? Jelas, untuk memenuhi urusan ini dalam satu tahun, aku harus bisa menaikkan gajiku sendiri. Lalu dengan cara apa? Eksplorasi dunia kerja dan cari tahu bagaian mana sekiranya aku bisa gali dan kejar setinggi-tingginya kompetensi diri. Dan untuk meningkatkan kompetisi diripun, tidak serta merta bisa dilakukan. Aku les TOEFL di Lembaga Bahasa Indonesia UI dalam kurun waktu 3 bulan, untuk benar-benar dapat meningkatkan skill akademik Bahasa Inggrisku. Lespun tidak mungkin aku lakukan diwaktu jam kerja atau malam hari, makanya ku kerjakan di hari Sabtu, sedang orang lain di luar sana sedang memanjakan diri dengan cara yang bermacam-macam. Untuk bisa berkomunikasi dengan client yang memang berasal dari Jepang, TOEFL saja tidak cukup. Bukan tidak cukup, karena memang TOEFL dipersiapkan untuk siapa saja yang ingin melanjutkan kuliah di Luar Negeri. Meski begitu, diwaktu senggang Sabtu malam dan hari minggu, aku les Bahasa Inggris untuk conversation secara online, karena ini yang paling efektif dan efisien, pikirku. Tidak cukup hanya itu, untuk menjaga kedekatan dengan client-client sudah semestinya aku belajar Bahasa Jepang, otodidak tidak masalah, toh aku pikir jika kita serius, suatu saat akan bisa kita kuasai. Tidak sesederhana itu mendefinisikan persiapan. Aku benar-benar tulis semua target hidup jangka pendek, menengah, dan panjang, sambil aku eksekusi satu persatu perlahan-lahan. Tidak mudah melakukan peran sebagai seorang karyawan, sekaligus manusia yang ingin sekali belajar. Setiap pagi, karena rumahku begitu jauh dari kantor, agar tidak telat, aku harus bangun pagi, dan berangkat ke kantor pukul 5 pagi, sehingga ku pikir, jika pagi seperti itu, aku tidak akan menemui orang-orang ber-emosi tinggi dalam bus Trans Jakarta, macet, dan segala rupa kendala di jalanan yang hiruk pikuk di ibukota. Jika aku bisa setidaknya sampai di kantor pukul 6:30, atau paling siang jam 07:00, ada setidaknya 30 menit untukku mempelajari apa-apa yang ingin aku pelajari, sebelum aku harus benar-benar mengerjakan tugas utamaku, bekerja. Walau aku mulai bekerja di jam 08:00 dan tidak pernah sehari-pun dalam sejarah aku terlambat, untuk memastikan bahwa aku telah berusaha maksimal, aku pulang setidaknya jam 7 malam, dan paling malam, jam 11 malam. Melelahkan, tapi semua itu kulakukan demi masa depan yang lebih baik lagi. Aku yakin, seberat ini perjuangan orang tuaku bisa menyekolahkan dan mendoakanku, pun kakak yang juga sedang berjuang di Jerman. Satu semester dari itu, gajiku pun naik. Tidak penting berapa nominalnya. Yang jelas, hingga saat ini, aku mampu bernegoisasi tentang gaji sampai 3 kali. Itu tandanya, tidak ada yang bermasalah selama aku bekerja, maksudku, aku telah bekerja di jalan yang Allah ridhoi, aamiin, semoga. Satu tahun dari itu, aku mampu memenangkan pertarungan sengit antar karyawan untuk bisa mengikuti Global Exchange Meeting di Jepang, demi bertemu orang-orang hebat, yang jelas, merekapun telah melakukan banyak sekali perjuangan dan persiapan sebelumnya, untuk itu aku ingin tahu sejauh-jauhnya apa-apa yang mungkin bisa kugunakan untuk mengembangkan mind set diriku sendiri. Sayang, memang ternyata dalam waktu 1 tahunpun aku belum bisa mengumpulkan cukup uang untuk masuk UI. Meski, di tahun itu uang masuknya masih 28 juta. Kakakku bilang, aku harus sabar, sembari belajar sosial dari dunia kerja lebih lama, meski memang pada akhirnya kembali ke dunia akademik lagi sepertinya.

Dua tahun berlalu, hingga akhirnya tabunganku cukup untuk masuk UI, mentalku siap untuk berhadapan lagi dengan perkuliahan dan segala seluk beluk tentang kampus setelah 2 tahun lamanya berhadapan dengan orang-orang profesional, yang mind setnya adalah profit. 31 juta tidak sedikit bagiku. Sedih memang, tabungan sebanyak itu, selama 2 tahun lamanya ku kumpulkan dengan keringatku sendiri, harus melayang begitu saja. Namun manis rasanya, jika aku kini bisa meningkatkan derajat keluargaku, sama seperti kakak yang selalu disanjung disana sini karena predikat hidupnya yang sungguh luar biasa.

Entah mengapa aku membenci sekali statement santai di luar sana “Ah, kelas karyawan ini, paling juga ngulang pelajaran yang sudah-sudah. Pasti ga akan berat.” Berani kutegaskan, bahwa pemikiran semacam ini adalah SALAH BESAR. kuliah ekstensi itu tidak mudah, guys! Dan siapa bilang semua mata pelajaran diulang? SALAH LAGI. Sampai detik ini, tak ada sedikitpun mata kuliah yang diulang. Kenapa? Karena memang program matrikulasi yang diberikan UI sudah setara dengan potensi dasar minimal yang harus dimiliki oleh mahasiswa tanggung seperti ini. Dan Alhamdulilah Wasyukurillah, aku bisa lolos 8 SKS matrikulasi sekaligus tahun ini.
Tugas-tugasnya yang luar biasa menyita waktu malam yang seharusnya digunakan untuk istirahat. Jika di D3 lalu, praktikum 75% dan teori 25%, seimbang sudah, kini aku dapat teori 75% dan praktikum 25%, ditambah lagi permil-mil pengalaman kerja yang tidak bisa didapat oleh mahasiswa reguler lainnya. Lain kata, aku tidak akan bisa melakukan perkuliahan ekstensi tanpa lulus terlebih dahulu dari D3, baik perkuliahan maupun mental. Satu hal besar yang kusadari, kenapa dulu ketika SNMPTN, ITB tidak bisa kutembus, bukan karena dengan sengaja Tuhan melakukan itu, tapi karena untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, perlu persiapan yang teramat sangat, baik mental, psikologis, keuangan, potensi akademik, dll. 

Pertanyaan menarik lainnya adalah, “Kenapa sih lo cape-cape kuliah? ngejar UI lagi! toh nantinya lo juga bakal jadi ibu-ibu juga. Kerjaannya ga jauh-jauh, kalo ga ngurus anak, ya ngurus rumah.”
Yep! That is the point! Ngurus anak. Itu tidak mudah, loh! Itu adalah kodrat termulia seorang wanita yang diberikan Allah. Siapa yang mau melihat anaknya berpangku tangan semasa remajanya. Siapa yang mau melihat anaknya lemah, cengeng, kurang pendidikan, tidak punya tata krama, tidak berbobot dalam berbicara dan bertindak, berjalan kemana-mana tanpa arah dan tujuan, dan yang paling penting, siapa yang mau melihat anaknya menjadi tidak sholeh nan sholehah, dan mengaliri pahala ketika kita mati kelak? Jangan mudah puas dulu! Aku tidak hanya mengejar UI sebenarnya. Bahkan aku ingin sekali menyusul perjuangan kakakku di negeri antah berantah nan jauh disana. Pergi sejauh-jauhnya, mumpung masih dikuatkan Allah, sebelum nanti kembali dan mengabdi lagi kepada bangsa dan negara. Bahwa masih ada prioritas utama sebelum ada bangsa dan negara, yaitu Allah, melalui agamaNya.
Kata-kata yang selalu aku ingat dari kakakku, “Pi, jihad dan berjuang di jalan Allah itu tidak hanya dengan pergi keluar rumah dan berperang. Bahwa dengan menitikkan tinta-tinta keilmuan, setiap tetesnya itu senilai dengan 1000 darah pejuang-pejuang yang mati di jalan Allah.”
Bahwa benar mati dalam keadaan membela bangsa dan negaranya bisa syahid, tapi bukan tanpa alasan ketika Rasul harus pergi ke Madinah karena mendapat penolakan dan kehidupan kurang menguntungkan di Mekkah. Bukan dengan tanpa tujuan sahabat nabi bisa bertemu dengan laksamana Cheng Ho di negeri Cina. Bukan dengan tanpa tujuan, Cheng Ho pun bisa sampai di ibu pertiwi dan menyebarkan agama yang lurus itu. Bukan dengan tanpa tujuan pula Rasul menghimbau umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negri Cina. Bukan tanpa tujuan pula kenapa Muhammad Al-Fatih pergi dari kampung halamannya untuk menaklukan Konstantinopel. Bukan dengan tanpa tujuan pula Salahuddin Al-Ayubi pergi berkelana dan akhirnya bisa menaklukkan Jerusalem. Mereka semua berhijrah demi syiar agama dan berjuang di jalan Allah swt. Selain itu, siapa yang bersedia menjadi seorang imam dari istrinya yang lemah, yang menyerah pada keadaan, tak ada usaha untuk merubah apapun? siapa yang bersedia ditemani hidupnya menjalani takdir Allah dan menjalankan perintah-perintahNya oleh seorang yang tidak memiliki pondasi yang kuat, gampang tersungkur oleh angin, ujianNya yang Maha luar biasa. Jawabannya hanya ada pada hati sanubari masing-masing. Karena benar bahwa hal-hal semacam ini yang seharusnya mampu menolong semangat hidup yang mulai runtuh, kualitas hidup yang menurun, mind set berbau sampah, tindakan yang keliru, dan prinsip hidup yang tidak kuat. Masuk UI bukanlah suatu momen yang harus dipamerkan kesana kemari, ceritanya diperdengarkan seluruh telinga yang lewat. Masuk UI bukan masalah menggunakan jaster kuning. Masuk UI bukan masalah menjadi manusia berijazah S1 dari kampus ternama Indonesia. Bukan, bukan itu semua! Masuk UI adalah masalah “how to stay as who we are”.

“Gaining so many social title is good, but reflect it into ourselves is the best” - Iik Wilarso, Dosen Prinsip-Prinsip Sistem Informasi, Fasilkom UI.

0 comments:

Post a Comment